Stagflasi Mengancam Ekonomi AS: Dampak Perang Dagang

favicon
Stagflasi Mengancam Ekonomi AS

Obrolan – Stagflasi kini menjadi momok yang mengancam ekonomi Amerika Serikat (AS), di tengah kebijakan perang dagang yang dimulai oleh Presiden Donald Trump.

Kebijakan tarif baru yang diberlakukan oleh pemerintah AS terhadap negara-negara mitra dagang telah memicu kekhawatiran yang meluas mengenai potensi kemunduran ekonomi.

Banyak analis ekonomi menganggap bahwa kebijakan tarif tersebut dapat memperburuk situasi, dengan menyebabkan lonjakan harga barang dan pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Situasi ini menambah ketidakpastian di kalangan konsumen, pengusaha, dan para pembuat kebijakan ekonomi di seluruh dunia.

Stagflasi: Ancaman Ganda bagi Ekonomi AS

Melansir laporan terbaru dari CNBC pada Rabu (5/3/2025), situasi yang dihadapi AS saat ini memperlihatkan ancaman ganda: inflasi yang terus merangkak naik di tengah lambatnya pertumbuhan ekonomi.

Fenomena ini menyebabkan kecemasan yang mendalam di kalangan masyarakat, terutama di kalangan konsumen yang merasa terjepit oleh harga barang yang semakin mahal, sementara kemampuan daya beli mereka semakin terbatas.

Mark Zandi, kepala ekonom di Moody’s Analytics, menyatakan bahwa fenomena ini dapat dikategorikan sebagai stagflasi, yaitu kombinasi antara inflasi yang tinggi dan stagnasi ekonomi.

“Stagflasi yang sedang terjadi sekarang mirip dengan situasi yang kita lihat pada tahun 1970-an dan awal 1980-an,” kata Zandi.

“Kebijakan tarif dan kebijakan imigrasi yang diterapkan pemerintah AS saat ini menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi.”

Dampak Negatif Stagflasi terhadap Sentimen Ekonomi

Pada masa-masa sebelum ini, stagflasi merupakan fenomena langka yang jarang terlihat dalam ekonomi modern, dan biasanya hanya muncul dalam situasi ekstrem seperti yang terjadi pada krisis energi tahun 1970-an.

Kini, tanda-tanda stagflasi kembali muncul, dan ini membawa dampak besar bagi sektor-sektor ekonomi yang sangat bergantung pada kepercayaan konsumen dan pertumbuhan belanja.

Survei terbaru menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi jangka panjang di kalangan konsumen berada pada level tertinggi dalam hampir tiga dekade terakhir.

Sementara itu, indeks sentimen konsumen menunjukkan penurunan yang signifikan, dengan angka yang berada di titik terendah dalam beberapa tahun.

Data dari Departemen Perdagangan AS juga menunjukkan penurunan besar dalam belanja konsumen pada Januari lalu, meskipun pendapatan meningkat tajam.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pendapatan meningkat, konsumen mulai mengurangi pengeluarannya karena ketidakpastian ekonomi dan harga yang terus melonjak.

Aktivitas Pabrik Menurun dan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi yang Suram

Selanjutnya, laporan dari Institute for Supply Management (ISM) menunjukkan bahwa aktivitas pabrik di AS hampir tidak berkembang pada bulan Februari. Bahkan, pesanan baru turun tajam, mencatat penurunan terbesar dalam hampir lima tahun terakhir.

Sementara itu, harga barang-barang yang diproduksi juga melonjak dengan margin bulanan tertinggi dalam lebih dari setahun.

Laporan ini memicu revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dari Atlanta Federal Reserve. Menggunakan model GDPNow, proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2025 diperkirakan turun menjadi -2,8% dalam laju tahunan.

Jika prediksi ini terwujud, maka ini akan menjadi penurunan pertama dalam pertumbuhan ekonomi sejak kuartal pertama 2022, dan merupakan penurunan terbesar sejak resesi akibat pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020.

Reaksi Federal Reserve terhadap Stagflasi

Kenaikan harga yang cepat, disertai dengan pelemahan aktivitas ekonomi, memicu spekulasi tentang tindakan yang akan diambil oleh Federal Reserve (Fed).

Beberapa pasar memprediksi bahwa Fed kemungkinan besar akan mulai memangkas suku bunga pada bulan Juni untuk mencegah perlambatan lebih lanjut.

Sebagian pihak juga memperkirakan bahwa Fed dapat mengurangi suku bunga hingga tiga perempat poin persentase pada tahun ini.

Namun, menurut Zandi, jika situasi stagflasi terus berlanjut dan pertumbuhan ekonomi tetap stagnan, ada kemungkinan besar bahwa Fed justru akan menaikkan suku bunga untuk menanggulangi inflasi, seperti yang dilakukan oleh mantan Ketua Federal Reserve, Paul Volcker, pada awal tahun 1980-an.

Volcker pada masa itu menaikkan suku bunga secara agresif untuk menghentikan inflasi, meskipun hal itu berisiko menyebabkan resesi yang dalam.

Penurunan Pasar Saham dan Imbal Hasil Obligasi

Ketidakpastian ekonomi yang berkembang menyebabkan penurunan di pasar saham. Pada bulan Maret ini, saham-saham di Wall Street mengalami penurunan tajam, dengan Indeks Dow Jones Industrial Average kehilangan sekitar 4,5% pada awal bulan.

Penurunan ini membalikkan keuntungan yang tercatat setelah Donald Trump memenangkan pemilihan presiden pada November 2024.

Meski demikian, para analis mencatat bahwa meskipun pasar saham mengalami penurunan, tingkat volatilitas yang tercatat belum terlalu tinggi, menunjukkan bahwa ini bukanlah saatnya untuk panik.

Selain saham, pasar obligasi juga menunjukkan pergerakan yang mencolok. Imbal hasil obligasi pemerintah AS, terutama obligasi 10 tahun, telah turun signifikan setelah sempat melonjak pada bulan September lalu.

Penurunan imbal hasil ini menunjukkan minat investor yang semakin besar terhadap aset aman, seperti obligasi, sebagai reaksi terhadap ketidakpastian pasar.

Menghadapi Tantangan Stagflasi

Banyak ekonom dan eksekutif bisnis mengingatkan agar para pengambil kebijakan dan pelaku pasar tetap waspada terhadap potensi dampak stagflasi ini.

Kenaikan tarif yang diberlakukan oleh pemerintah AS telah mempengaruhi harga barang-barang kebutuhan dasar, seperti makanan, kendaraan, listrik, dan barang lainnya, yang pada akhirnya dapat memperburuk daya beli masyarakat.

Mark Hackett, kepala strategi pasar di Nationwide, memperingatkan tentang kemungkinan terjadinya “lingkaran setan” yang dapat memicu krisis ekonomi yang lebih dalam.

“Saat ini, kita harus tetap waspada terhadap perubahan besar dalam pola pikir dan perilaku masyarakat, yang dapat memperburuk krisis ekonomi,” ujarnya.

Secara keseluruhan, meskipun ada beberapa prediksi yang menunjukkan bahwa situasi ini bisa dikelola, kenyataan bahwa stagflasi telah mulai mempengaruhi ekonomi AS menunjukkan perlunya kebijakan yang hati-hati dan terukur agar dampaknya tidak meluas lebih jauh.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi. Bila ingin mengutip silahkan menggunakan link aktif mengarah pada domain Obrolan.id.