Obrolan.id – PT Perkebunan Nusantara III (PTPN) akhirnya mengakui adanya penyalahgunaan fungsi lahan mereka di Puncak, Kabupaten Bogor, yang diduga menjadi salah satu penyebab banjir parah di wilayah Jabodetabek beberapa waktu lalu.
Permasalahan ini bermula dari pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang menyebutkan bahwa lahan milik PTPN yang seharusnya berfungsi sebagai resapan air justru dialihfungsikan menjadi tempat wisata Hibisc Fantasy Puncak.
Dedi Mulyadi, melalui media sosialnya pada Rabu, 5 Maret 2025, mempertanyakan kebijakan PTPN yang menyewakan lahan tersebut untuk bisnis wisata.
Ia pun menyarankan agar PTPN mempertimbangkan untuk beralih lini bisnis. “Jangan jadi PT perkebunan, ganti menjadi PT kontraktor tanah,” sindir Dedi.
Pernyataan tersebut kemudian mendorong tindakan tegas dari berbagai pihak. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) langsung menyegel empat lokasi yang terbukti menyalahgunakan fungsi lahan, termasuk Hibisc Fantasy, Eiger Adventure, pabrik teh dekat Telaga Saat, serta kawasan agrowisata Gunung Mas.
Selain itu, KLH juga mencatat bahwa 33 penyewa lahan PTPN terlibat dalam pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan dokumen lingkungan yang diajukan. Bahkan, luas lahan yang dikelola berkembang menjadi 35 hektare, padahal sebelumnya hanya 16 hektare yang diajukan.
Direktur Utama PTPN, Mohammad Abdul Ghani, mengakui adanya penyalahgunaan fungsi lahan dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR pada Rabu, 19 Maret 2025. PTPN memiliki Hak Guna Usaha (HGU) di Gunung Mas Puncak seluas 1.623 hektare.
Namun, sekitar 18,86 persen atau 306,14 hektare dari lahan tersebut telah digunakan untuk berbagai bisnis dengan mitra (BtB). Ghani menjelaskan bahwa seharusnya, PTPN hanya diperbolehkan mengubah penggunaan lahan maksimal 6 persen dari total luas lahan.
Lebih lanjut, pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyebut kebijakan PTPN memberikan izin untuk menjadikan lahan perkebunan sebagai tempat wisata tanpa memperhatikan dampaknya terhadap aliran air hujan yang mengarah ke daerah hilir.
Hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan lahan untuk menyerap air hujan, yang pada gilirannya memperparah banjir.
Yayat juga mengkritisi keputusan PTPN yang cenderung mementingkan keuntungan dengan menyewakan lahan perkebunan, tanpa melakukan revitalisasi seperti reboisasi atau pembangunan fasilitas penampung air seperti waduk atau sungai retensi.
Kurangnya pengawasan terhadap penggunaan lahan oleh mitra dianggap sebagai faktor utama yang memperburuk masalah banjir.
Senada dengan Yayat, pengamat tata kota Universitas Negeri Surabaya, Firre An Soeprapto, berpendapat bahwa penggunaan lahan PTPN seharusnya difokuskan pada kegiatan perkebunan dan kehutanan yang sesuai dengan fungsi utama lahan, serta memperhatikan aspek konservasi lingkungan.
Firre juga menyoroti pengawasan yang lemah oleh PTPN dan koordinasi yang buruk dengan pemerintah daerah.
Pakar hukum lingkungan, Totok Dwi Diantoro, juga menilai bahwa penyalahgunaan lahan di Puncak, Bogor, berpotensi terkait dengan praktik korupsi.
Menurutnya, pemberian izin untuk perubahan fungsi lahan perlu diselidiki lebih lanjut, dan jika ditemukan adanya keterlibatan pejabat negara, maka penegak hukum harus bertindak tegas.
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur WALHI, Dwi Sawung, turut menyoroti kemungkinan keterlibatan pejabat negara dalam kasus alih fungsi lahan ini.
Ia mengingatkan bahwa pejabat yang terlibat dalam pengalihan fungsi lahan ilegal bisa dijerat dengan hukum, sebagaimana kasus serupa yang pernah terjadi pada eks Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti.
Kasus ini mengundang perhatian luas dan mendorong seruan agar PTPN dan pemerintah daerah lebih berhati-hati dalam mengelola dan memberikan izin penggunaan lahan, untuk mencegah kerusakan lingkungan dan bencana alam seperti banjir.
Sumber: CNN Indonesia