Obrolan.id – Kontroversi ormas minta THR menjelang Lebaran di Indonesia menimbulkan polemik, apakah ini bagian budaya atau bentuk pemaksaan yang meresahkan?
Lebaran merupakan momen yang sangat dinanti oleh seluruh umat Muslim di Indonesia. Selain sebagai waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan merayakan kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa, Lebaran juga identik dengan tradisi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR).
Namun, belakangan ini, pemberian THR oleh pengusaha kepada organisasi masyarakat (ormas) menimbulkan kontroversi yang memicu polemik di kalangan masyarakat.
Pernyataan yang memicu perdebatan datang dari Wakil Menteri Agama (Wamenag) Muhammad Syafi’i, yang akrab disapa Romo Syafi’i.
Dalam sebuah wawancara, Romo Syafi’i menyatakan bahwa pemberian THR oleh pengusaha kepada ormas adalah bagian dari budaya Lebaran di Indonesia sejak dulu.
“Saya rasa itu budaya Lebaran Indonesia sejak dahulu kala. Tak perlu dipersoalkan,” ujar Syafi’i dalam video yang beredar luas di media.
Pernyataan ini semakin memanas setelah muncul kabar bahwa beberapa ormas di wilayah Jabodetabek, khususnya di Depok, telah meminta THR kepada pengusaha dengan dalih sebagai bentuk “social control” atau pengamanan menjelang Lebaran.
Menurut informasi yang beredar, surat permintaan THR itu diterbitkan oleh tiga ormas di Sawangan, Depok, dan menimbulkan keresahan di kalangan pemilik usaha.
Surat edaran tersebut berisi permintaan dana yang dianggap sebagai kontribusi untuk menjaga keamanan selama perayaan Idulfitri.
Namun, sejumlah pengusaha mengaku resah dengan adanya permintaan tersebut, yang mereka anggap bisa berujung pada pemaksaan.
“Sejumlah pemilik usaha di Sawangan mengaku resah setelah menerima tiga surat dari ormas yang meminta dana untuk keamanan Hari Raya Idulfitri,” demikian isi dari keterangan yang beredar di media sosial.
Menyikapi hal ini, Polda Metro Jaya langsung bergerak cepat dengan mengimbau masyarakat untuk melapor jika ada ormas yang melakukan permintaan THR dengan cara yang memaksa.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E. Zulpan menegaskan bahwa jika ada unsur pemaksaan dalam permintaan tersebut, maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai bentuk pemerasan.
Kontroversi ini pun mengundang berbagai reaksi dari masyarakat. Sebagian pihak menyebutkan bahwa tradisi pemberian THR kepada ormas merupakan bagian dari budaya Lebaran yang sudah berlangsung sejak lama, dan tak seharusnya menjadi masalah.
Namun, ada juga yang merasa bahwa permintaan THR ini sudah melampaui batas, terutama ketika dilakukan dengan cara yang terkesan memaksa dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
Budaya THR dan Tanggung Jawab Sosial
Pemberian THR pada dasarnya adalah sebuah tradisi yang sudah melekat dalam budaya masyarakat Indonesia. THR biasanya diberikan oleh pengusaha kepada karyawan sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras mereka sepanjang tahun.
Selain itu, THR juga menjadi salah satu bentuk perhatian dan rasa syukur kepada orang lain, yang sekaligus mempererat hubungan sosial dalam masyarakat.
Namun, pemberian THR kepada ormas, terutama dengan alasan sebagai dana keamanan atau kontrol sosial, bukanlah hal yang umum dilakukan.
Banyak yang mempertanyakan apakah hal ini benar-benar bagian dari budaya Lebaran, ataukah justru sudah bergeser menjadi sebuah bentuk pemerasan yang merugikan pengusaha.
Pada titik ini, muncul pertanyaan besar: apakah THR yang diminta oleh ormas ini benar-benar untuk tujuan sosial, ataukah hanya untuk kepentingan kelompok tertentu?
Dampak Sosial dan Hukum dari Permintaan THR oleh Ormas
Polemik Ormas minta THR bisa menimbulkan dampak sosial yang cukup besar. Bagi pengusaha kecil, Ormas minta THR mungkin bisa menambah beban finansial, apalagi jika dilakukan dengan cara yang memaksa.
Hal ini tentu dapat memengaruhi kelangsungan usaha mereka, terutama pada saat-saat yang sulit seperti pandemi atau krisis ekonomi.
Selain itu, ada juga dampak hukum yang perlu diperhatikan. Jika terbukti bahwa Ormas minta THR dengan cara yang tidak sah atau memaksa, tindakan tersebut bisa dianggap sebagai pemerasan, yang jelas melanggar hukum.
Pihak kepolisian dan aparat hukum lainnya perlu memastikan bahwa kasus seperti ini tidak dibiarkan begitu saja, dan pihak yang bertanggung jawab harus diberikan sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Mencari Solusi yang Adil
Dalam menghadapi kontroversi ini, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk mencari solusi yang adil dan bijaksana.
Jika tradisi pemberian THR kepada ormas benar-benar ada dan sudah menjadi bagian dari budaya Lebaran, maka sebaiknya hal tersebut dilakukan dengan cara yang transparan dan sukarela, tanpa ada unsur pemaksaan atau intimidasi.
Pihak kepolisian juga harus terus melakukan pengawasan terhadap ormas-ormas yang berpotensi melakukan pemerasan, agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Pengusaha juga diharapkan dapat memahami pentingnya menjaga hubungan baik dengan masyarakat dan ormas, namun tanpa merasa terpaksa memberikan THR jika tidak sesuai dengan kemampuan atau kebijakan perusahaan.
Pada akhirnya, pemberian THR harus tetap menjadi bentuk rasa syukur dan solidaritas dalam merayakan Lebaran, bukan menjadi beban yang merugikan pihak tertentu.
Dengan dialog yang terbuka dan kesepakatan bersama, kita berharap kontroversi ini dapat diselesaikan dengan baik, tanpa merusak keharmonisan sosial yang telah terjalin dalam masyarakat Indonesia.
Kesimpulan
Kontroversi tentang permintaan THR oleh ormas menjelang Lebaran ini menimbulkan banyak perdebatan. Sebagian pihak menganggapnya sebagai bagian dari budaya Lebaran yang sudah ada sejak lama, sementara yang lain merasa resah karena adanya unsur pemaksaan.
Untuk itu, perlu adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai pemberian THR kepada ormas, agar tidak merugikan salah satu pihak. Dengan solusi yang bijak, tradisi pemberian THR tetap dapat berlangsung dengan baik tanpa menimbulkan masalah sosial atau hukum.