Obrolan.ID – Perubahan emosi yang dialami oleh banyak perempuan menjelang datangnya menstruasi bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
Fenomena ini kerap ditandai dengan rasa mudah tersinggung, sedih tanpa sebab, marah yang tiba-tiba, atau kecemasan berlebih.
Dalam dunia medis dan psikologi, gejala-gejala tersebut dikenal sebagai bagian dari sindrom pramenstruasi atau premenstrual syndrome (PMS) suatu kondisi yang memengaruhi fisik, emosi, dan perilaku, dan biasanya muncul satu hingga dua minggu sebelum menstruasi dimulai.
Salah satu aspek paling kentara dari PMS adalah perubahan emosi yang sulit dijelaskan secara logis. Emosi perempuan menjelang menstruasi sering kali berada di luar kendali mereka sendiri.
Penjelasan ilmiah menyebutkan bahwa hal ini berkaitan erat dengan fluktuasi hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh.
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), sekitar 85% perempuan mengalami setidaknya satu gejala PMS dalam setiap siklusnya.
Dan dari semua gejala yang muncul, perubahan emosi—seperti rasa marah yang mendadak—adalah salah satu yang paling dominan (ACOG, 2015).
Secara biologis, saat memasuki fase luteal—fase setelah ovulasi dan sebelum menstruasi—terjadi penurunan drastis hormon estrogen dan progesteron.
Hormon-hormon ini berperan penting dalam memengaruhi kerja neurotransmiter seperti serotonin, yang memiliki fungsi mengatur suasana hati.
Ketika kadar estrogen turun, kadar serotonin pun ikut menurun, yang kemudian berdampak pada naiknya emosi perempuan menjelang menstruasi (Rapkin & Mikacich, 2013).
Penelitian oleh Halbreich dan Borenstein (1990) dalam jurnal Psychoneuroendocrinology menunjukkan bahwa perempuan dengan PMS berat memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap perubahan hormon.
Penurunan kadar serotonin yang lebih tajam menyebabkan emosi lebih mudah goyah, bahkan bisa mengarah pada gejala seperti ledakan emosi dan penurunan kemampuan mengontrol stres.
Namun, faktor hormonal bukan satu-satunya penyebab. Emosi perempuan menjelang menstruasi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan lingkungan sosial.
Faktor eksternal seperti stres pekerjaan, tekanan sosial, kelelahan, dan kurang tidur dapat memperburuk ketidakseimbangan emosi yang sedang berlangsung.
Pendekatan biopsikososial dalam psikologi menyatakan bahwa semua elemen—biologis, psikologis, dan sosial—berinteraksi dalam membentuk respons emosional seseorang (Engel, 1977).
Penelitian oleh Gonda et al. (2008) dalam Journal of Affective Disorders bahkan menyebutkan bahwa perempuan dengan riwayat gangguan kecemasan atau depresi cenderung memiliki gejala PMS yang lebih berat.
Mereka lebih reaktif terhadap stres karena sistem neuropsikologisnya lebih sensitif terhadap perubahan hormonal.
Dalam konteks budaya Indonesia, kurangnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi sering kali memperburuk kondisi ini.
Banyak perempuan, khususnya remaja, tidak memahami apa yang terjadi pada tubuh mereka saat menjelang haid.
Minimnya informasi dan adanya anggapan tabu tentang pembicaraan soal menstruasi hanya memperkuat rasa cemas dan tidak nyaman, yang pada akhirnya memperburuk emosi perempuan menjelang menstruasi.
Pendidikan reproduksi yang menyeluruh menjadi kunci untuk membantu perempuan mengelola perubahan emosional ini dengan lebih baik.
Selain itu, strategi non-obat seperti olahraga ringan, teknik relaksasi, manajemen stres, dan pola makan sehat terbukti efektif dalam meredakan gejala.
Sebuah penelitian oleh Freeman et al. (1999) dalam Obstetrics & Gynecology menyarankan agar perempuan menghindari konsumsi kafein dan gula berlebihan selama fase pramenstruasi, serta meningkatkan aktivitas fisik untuk memicu pelepasan endorfin yang membantu menstabilkan suasana hati.
Untuk kasus yang lebih serius seperti Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD)—yang merupakan versi ekstrem dari PMS—intervensi medis sering kali dibutuhkan.
PMDD bisa menyebabkan perubahan suasana hati ekstrem, depresi berat, bahkan pikiran negatif terhadap diri sendiri.
Gangguan ini telah diakui secara resmi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) oleh American Psychiatric Association (APA, 2013), dan pengobatannya bisa meliputi terapi hormon atau konsumsi selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI).
Pemahaman tentang emosi perempuan menjelang menstruasi penting tidak hanya bagi perempuan itu sendiri, tetapi juga bagi orang-orang di sekeliling mereka.
Dukungan emosional dari pasangan, keluarga, dan lingkungan sekitar bisa sangat membantu dalam menghadapi masa-masa sensitif ini.
Dengan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan, empati, dan komunikasi yang terbuka, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi perempuan yang sedang mengalami perubahan emosional menjelang haid.
Tidak seharusnya perubahan ini dianggap sebagai kelemahan atau alasan untuk bersikap berlebihan, melainkan sebagai respons biologis yang bisa dipahami dan dikelola bersama.