Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Pembahasan Revisi UU TNI di Hotel Mewah Fairmont Jakarta

Avatar photo
Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Pembahasan RUU TNI di Hotel Mewah

Obrolan – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik keras langkah Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan Pemerintah yang memilih untuk membahas perubahan UU 34/2004 di Hotel Fairmont, Jakarta.

Pembahasan tersebut, yang berlangsung selama dua hari terakhir, menuai kecaman dari berbagai organisasi yang tergabung dalam koalisi tersebut.

Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh koalisi sipil, proses pembahasan yang terbatas dan dilakukan di hotel mewah bintang lima di tengah pekan justru semakin menunjukkan rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik.

Pembahasan di hotel mewah ini juga dianggap bertentangan dengan upaya efisiensi anggaran yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah, terutama mengingat banyak sektor penting yang justru dipotong dengan alasan efisiensi.

“Di tengah sorotan publik terhadap revisi Undang-Undang TNI, Pemerintah dan DPR justru memilih membahas RUU ini secara tertutup di hotel mewah pada akhir pekan. Kami memandang langkah ini sebagai bentuk dari rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi yang berdampak luas terhadap tata kelola pertahanan negara,” ungkap koalisi sipil dalam pernyataan resminya.

Anggota koalisi ini termasuk beberapa organisasi masyarakat sipil terkemuka, seperti Imparsial, YLBHI, Walhi, KontraS, Setara Institute, AJI Jakarta, dan BEM SI.

Pada hari Sabtu, perwakilan dari koalisi sipil mendatangi hotel tersebut dan melakukan aksi di depan ruang yang digunakan untuk pembahasan RUU TNI.

Kritik Terhadap Pemborosan Anggaran dan Transparansi Proses Legislasi

Koalisi menyampaikan bahwa pembahasan yang tertutup dan dilaksanakan di hotel mewah ini menunjukkan sikap pemerintah dan DPR yang tidak sensitif terhadap anggaran negara.

Mereka menilai bahwa pemerintah mengurangi alokasi dana untuk sektor-sektor penting, seperti pendidikan dan kesehatan, namun di saat yang sama menggelar pembahasan yang memakan biaya besar di tempat mewah.

“Pemerintah Indonesia seperti tidak memiliki rasa malu dan hanya ‘omon-omon’ belaka di tengah upaya efisiensi anggaran, serta mendorong penghematan belanja negara.

Namun, ironisnya, di saat yang sama, DPR dan pemerintah justru menggelar pembahasan RUU TNI di hotel mewah, yang tentunya menghabiskan anggaran negara dalam jumlah besar. Hal ini merupakan bentuk pemborosan dan pengkhianatan terhadap prinsip keadilan dan demokrasi,” ungkap koalisi sipil.

Mereka juga menilai bahwa langkah tersebut berisiko merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses legislasi yang berpengaruh besar pada tata kelola pertahanan dan keamanan negara. Menurut mereka, pembahasan yang dilakukan di hotel mewah pada akhir pekan ini mengabaikan hak masyarakat untuk ikut serta dalam proses tersebut.

Substansi RUU TNI yang Mengandung Pasal Bermasalah

Selain mengkritik cara pembahasan, koalisi sipil juga menyoroti substansi dari RUU TNI itu sendiri. Mereka menilai bahwa RUU ini mengandung pasal-pasal yang berpotensi merusak demokrasi dan penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

Salah satu masalah utama yang diidentifikasi adalah potensi kembali munculnya dwifungsi militer, yang memungkinkan anggota militer aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil.

“Perluasan penempatan TNI aktif di jabatan sipil, tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan, dan loyalitas ganda,” tegas koalisi sipil.

Mereka juga menilai revisi ini berpotensi melemahkan profesionalisme militer dan menciptakan ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan antara militer dan sipil.

Selain itu, koalisi sipil menolak draf RUU TNI yang disampaikan oleh pemerintah kepada DPR, mengingat substansi yang dinilai bermasalah tersebut.

Tanggapan dari Pihak Pemerintah dan DPR

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont Jakarta tidak melanggar Tata Tertib DPR.

Indra menyebut bahwa pembahasan di luar Gedung DPR hanya diperbolehkan untuk kegiatan yang sangat mendesak. Ia menjelaskan bahwa hotel tersebut dipilih karena telah ada kerja sama antara DPR dengan pihak hotel yang menawarkan harga khusus untuk acara tersebut.

Selain itu, Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, juga menegaskan bahwa ada beberapa poin penting yang ingin ditekankan dalam revisi RUU TNI, seperti penguatan alutsista, penataan penempatan TNI dalam lembaga sipil, peningkatan kesejahteraan prajurit, dan pengaturan batas usia pensiun.

Namun, ia menegaskan bahwa revisi hanya akan mengubah tiga pasal terkait kedudukan TNI, penempatan TNI di institusi sipil, dan masa pensiun.

Transparansi dan Partisipasi Masyarakat Ditekankan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menegaskan pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam setiap pembahasan regulasi yang mempengaruhi tata kelola pertahanan negara.

Pembahasan yang tertutup dan dilakukan di tempat mewah hanya akan menambah ketidakpercayaan publik terhadap proses legislasi ini.

Oleh karena itu, mereka mendesak agar DPR dan pemerintah lebih terbuka dan melibatkan masyarakat dalam setiap langkah revisi UU TNI demi terciptanya sistem pertahanan yang lebih baik, transparan, dan profesional.

Sumber: CNN

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi. Bila ingin mengutip silahkan menggunakan link aktif mengarah pada domain Obrolan.id.