Kemarau Basah: Fenomena Cuaca Tak Lazim yang Bawa Dampak Ganda

favicon
Kemarau Basah

Obrolan.ID – Fenomena kemarau basah yang melanda wilayah Indonesia menjadi topik perbincangan hangat masyarakat karena masim kemarau telah tiba.

Kondisi tersebut membuat istilah kemarau basah kembali ramai dibicarakan di tengah publik. Fenomena kemarau basah mengacu pada kondisi ketika curah hujan tetap tinggi di masa yang seharusnya kering.

Fenomena ini menjadi salah satu bentuk anomali cuaca yang sering kali dikaitkan dengan dampak pemanasan global yang semakin terasa, termasuk di berbagai wilayah di Indonesia.

Tak sedikit warga bertanya-tanya, sebenarnya apa itu kemarau basah, dan bagaimana bisa hujan deras turun di saat seharusnya musim kering melanda? Berikut penjelasan lengkapnya.

Apa Itu Kemarau Basah?

Secara sederhana, kemarau basah adalah suatu kondisi di mana hujan turun secara intensif pada periode yang biasanya ditandai dengan kekeringan.

Fenomena ini tidak terjadi dalam waktu singkat dan biasanya berlangsung selama beberapa pekan hingga berbulan-bulan.

Penyebab utama dari kemarau basah adalah adanya gejala iklim global La Niña. Fenomena ini terjadi ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur mendingin, disertai dengan penguatan angin pasat.

Kondisi tersebut meningkatkan suplai uap air di atmosfer, memicu terbentuknya awan hujan, dan pada akhirnya menimbulkan hujan meskipun sedang musim kemarau.

La Niña juga berpengaruh besar terhadap pola cuaca di Indonesia, terutama yang berada di wilayah selatan khatulistiwa.

Hal ini membuat hujan tetap turun secara konsisten meskipun kalender menunjukkan periode kemarau.

Oleh karena itu, kemarau basah menjadi fenomena yang perlu dicermati karena berdampak pada banyak sektor, terutama pertanian.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui pembaruan prakiraan musim kemarau pada Mei 2025 menyampaikan bahwa saat ini La Niña sedang berada dalam tahap transisi menuju kondisi netral. Namun, pengaruhnya masih terasa dan bisa menimbulkan cuaca tidak menentu.

Musim kemarau tahun ini diprediksi akan berlangsung dalam pola normal atau sedikit tertunda di beberapa daerah.

Dari 409 Zona Musim (ZOM) di Indonesia, sebagian besar diperkirakan tetap mengalami curah hujan dalam kategori normal.

Namun demikian, hujan yang tetap terjadi di musim kemarau menjadi indikasi kuat terjadinya kemarau basah di sejumlah daerah.

Dampak Kemarau Basah terhadap Dunia Pertanian

BMKG dalam publikasi “Klima Edisi VI 2022” menyebut bahwa La Niña memiliki andil besar dalam menimbulkan anomali cuaca di Indonesia, termasuk hujan di musim kemarau.

Fenomena kemarau basah ini memberikan dampak berbeda-beda terhadap sektor pertanian, tergantung pada jenis tanaman dan wilayahnya.

Majalah Trubus edisi September 2022 mencatat bahwa petani bawang merah justru diuntungkan oleh kondisi ini.

Dalam musim kemarau basah, bawang merah dapat tumbuh optimal karena kelembaban tanah cukup tinggi namun tidak berlebihan, dan serangan hama cenderung lebih sedikit dibandingkan saat musim hujan penuh.

Berbeda dengan petani bawang, petani palawija justru menghadapi tantangan. Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) Kabupaten Demak menyatakan bahwa tanaman palawija seperti kacang tanah dan jagung memerlukan kondisi tanah yang lebih kering.

Jika curah hujan terlalu tinggi di musim kemarau, seperti saat kemarau basah, maka pola tanam terganggu dan potensi gagal panen meningkat.

Di sisi lain, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyebut kemarau basah memberikan dampak positif bagi petani di daerah non-irigasi.

Kepala DKPP Bantul, Joko Waluyo, mengatakan bahwa hujan di musim kemarau membantu petani yang biasanya bergantung pada tadah hujan untuk terus menanam tanpa harus menunggu musim hujan.

“Untuk daerah yang tidak memiliki sistem irigasi teknis, keberadaan kemarau basah sangat membantu. Tanah bisa tetap dimanfaatkan untuk pertanian tanpa perlu menunggu musim hujan datang,” ujar Joko.

Bagi wilayah dengan irigasi teknis, tambahnya, kondisi ini juga menguntungkan karena pasokan air irigasi menjadi lebih melimpah. Namun, ia tetap mengimbau petani untuk waspada terhadap potensi penyakit tanaman akibat kelembaban yang tinggi.

“Meski sejauh ini tidak ada serangan penyakit yang signifikan, pengawasan tetap perlu dilakukan. Dinas terus aktif di lapangan untuk memastikan situasi terkendali,” tambahnya.

Selain itu, Joko juga mendorong para petani untuk memanfaatkan kondisi ini dengan melakukan percepatan masa tanam. Jika biasanya petani menunggu waktu cukup lama setelah panen, kini mereka bisa langsung memanfaatkan tanah yang masih lembab untuk penanaman berikutnya.

“Kami harap tidak ada lahan yang menganggur. Kemarau basah ini justru bisa menjadi peluang bagi petani untuk menanam kembali lebih cepat, baik padi maupun jagung. Keuntungan ini tidak hanya dirasakan di Bantul, tapi juga bisa berdampak positif di daerah lain,” tutupnya.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi. Bila ingin mengutip silahkan menggunakan link aktif mengarah pada domain Obrolan.id.