Obrolan.ID – Dalam pandangan hukum Islam, tindakan KB steril atau sterilisasi baik melalui vasektomi pada pria maupun tubektomi pada wanita secara umum dikategorikan haram.
Alasannya adalah karena prosedur ini bersifat permanen dan memutus kemampuan reproduksi secara total, yang bertentangan dengan salah satu tujuan utama pernikahan, yaitu memperoleh keturunan.
Meskipun demikian, hukum ini tidak bersifat mutlak dalam semua keadaan. Islam juga mempertimbangkan situasi darurat sebagai pengecualian, terutama jika tindakan medis tersebut diperlukan untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah risiko kesehatan serius bagi perempuan.
Dalam konteks ini, KB Steril menurut Islam dapat diperbolehkan, namun tetap berada dalam koridor yang ketat dan memerlukan pertimbangan ahli.
Sebagian besar ulama menyatakan bahwa sterilisasi merupakan bentuk pembatasan kelahiran yang tidak wajar karena meniadakan kemungkinan untuk memiliki keturunan di masa depan.
Oleh karena itu, tindakan ini masuk dalam kategori yang diharamkan, kecuali jika sifatnya tidak permanen atau masih bisa dipulihkan.
Dalam salah satu pendapat ulama fikih disebutkan bahwa sterilisasi hanya bisa diterima jika tidak menyebabkan kerusakan permanen pada organ reproduksi dan masih memungkinkan untuk dikembalikan ke fungsi semula.
Penjelasan ini juga diperkuat dalam literatur klasik, seperti yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, yang menyatakan:
“Menggunakan obat atau metode yang menunda kehamilan dimakruhkan, sedangkan yang memutuskan kehamilan secara permanen dihukumi haram.”
Dengan demikian, jika tindakan steril masih memungkinkan untuk dipulihkan, maka hukumnya makruh—bukan haram secara mutlak.
Contohnya, jika pasangan menunda kehamilan karena alasan usia anak yang masih kecil, dan mereka berencana memiliki anak lagi di masa depan, maka tindakan ini masih dalam batas toleransi hukum Islam.
Namun permasalahan menjadi berbeda apabila sterilisasi dilakukan secara permanen dan tidak bisa dipulihkan.
Dalam kasus seperti ini, hukum haram berlaku secara tegas, karena secara langsung menghilangkan potensi untuk memiliki keturunan.
Lalu bagaimana jika tindakan tersebut dilakukan dalam situasi darurat? Misalnya, seorang perempuan yang telah sering melahirkan divonis oleh dokter bahwa kehamilan berikutnya bisa membahayakan nyawanya.
Dalam situasi ini, KB steril menurut Islam bisa dibolehkan sebagai langkah darurat untuk menjaga keselamatan jiwa. Ini merujuk pada kaidah fikih yang menyatakan:
“Jika terdapat dua mudarat yang bertentangan, maka dipilih yang lebih ringan untuk menghindari mudarat yang lebih besar.”
Prinsip ini telah ditegaskan dalam berbagai literatur fikih, salah satunya dalam kitab al-Asybah wa an-Nazha’ir karya Jalaluddin as-Suyuthi.
Prinsip tersebut juga diakui oleh forum keagamaan resmi di Indonesia, seperti dalam Keputusan Konferensi Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama ke-1 pada April 1960 di Jakarta. Dalam keputusan itu ditegaskan bahwa:
“Jika sterilisasi dilakukan karena ada risiko kesehatan yang membahayakan nyawa akibat terlalu sering melahirkan, maka tindakan tersebut diperbolehkan.”
Dengan demikian, secara garis besar, sterilisasi permanen dalam program KB adalah tindakan yang dilarang dalam Islam, kecuali dalam kondisi darurat medis yang telah dikonfirmasi oleh tenaga ahli.
Karena itu, sebelum mengambil keputusan penting seperti ini, sangat disarankan bagi pasangan suami istri untuk berkonsultasi secara detail dengan dokter yang kompeten dan memahami konsekuensi medis serta hukumnya.
Semoga penjelasan ini memberikan kejelasan hukum bagi umat Islam yang mempertimbangkan program KB steril dalam perencanaan keluarga mereka.
Prinsip kehati-hatian dan konsultasi dengan pihak berkompeten tetap menjadi langkah utama sebelum menentukan tindakan apapun.













