Obrolan – Para ilmuwan di Colossal Biosciences baru-baru ini mencatatkan pencapaian penting dalam bidang bioteknologi dengan menciptakan tikus berbulu tebal, atau “woolly mice,” yang bulunya menyerupai woolly mammoth lebat yang hidup pada zaman es.
Penemuan ini diumumkan pada 4 Maret 2025 dan menjadi tonggak awal untuk proyek ambisius yang bertujuan menghidupkan kembali woolly mammoth (Mammuthus primigenius) pada 2028, meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi.
Proyek ini dimulai pada September 2024 dengan eksperimen pertama menggunakan tikus sebagai model untuk menguji teknik rekayasa genetik.
Ben Lamm, CEO Colossal Biosciences, menjelaskan bahwa tikus dipilih karena masa kehamilannya yang singkat, hanya sekitar 20 hari, yang memungkinkan peneliti untuk mempercepat proses percobaan.
Tikus berbulu lebat ini dibuat dengan memodifikasi genetik mereka untuk menghasilkan bulu tebal, seperti yang dimiliki oleh mamut.
Beth Shapiro, kepala ilmuwan di Colossal, mengungkapkan bahwa penggunaan tikus sangat efektif karena masa kehamilannya yang lebih singkat dibandingkan dengan gajah, yang membutuhkan waktu sekitar 22 bulan.
Penelitian ini bertujuan untuk memodifikasi beberapa gen pada tikus, menciptakan struktur bulu yang lebih panjang dan lebih bergelombang, serupa dengan mamut berbulu.
Ilmuwan Ciptakan Tikus Berbulu Tebal Mirip Woolly Mammoth
Para ilmuwan mengubah tujuh gen pada tikus, termasuk gen-gen yang mengatur panjang, tekstur, dan warna bulu.
Salah satu perubahan signifikan adalah menonaktifkan gen FGF-5, yang berperan dalam panjang rambut, sehingga bulu tikus menjadi tiga kali lebih panjang dari tikus laboratorium biasa.
Modifikasi gen lainnya, seperti TGF alpha dan KRT27, menambah gelombang pada bulu tikus, menciptakan tampilan yang lebih mirip dengan woolly mammoth.
Vincent Lynch, ahli biologi evolusi dari University at Buffalo, menganggap eksperimen ini sebagai bukti bahwa menggabungkan beberapa mutasi dalam satu organisme dapat berhasil.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa mengedit beberapa mutasi dalam satu organisme bisa menghasilkan perubahan fisik yang signifikan, seperti pada tikus ini,” ujarnya.
Selain itu, tim peneliti juga berusaha meniru karakteristik mamut lainnya, seperti lapisan lemak tebal yang melindungi mamut dari suhu ekstrem.
Para ilmuwan berharap dapat memodifikasi metabolisme lemak pada tikus agar lebih mirip dengan mamut, meskipun efek dari perubahan ini masih belum sepenuhnya terlihat.
Langkah berikutnya adalah menguji apakah tikus berbulu lebat ini dapat bertahan di suhu dingin dengan lebih baik dibandingkan tikus biasa.
“Kami telah berhasil mengedit genetiknya, dan sekarang kami hanya perlu menguji seberapa efektif perubahan ini dalam meningkatkan ketahanan terhadap suhu dingin,” kata Lamm.
Namun, meskipun pencapaian ini sangat signifikan, tantangan terbesar masih ada di depan mata. Penerapan teknik rekayasa genetik pada gajah, yang memiliki rambut jauh lebih sedikit dibandingkan mamalia lain, akan menjadi langkah yang jauh lebih kompleks.
Vincent Lynch mengingatkan, meskipun eksperimen pada tikus berhasil, menerapkannya pada gajah akan lebih sulit karena rambut gajah sangat sedikit.
Untuk mencapainya, para ilmuwan harus menemukan cara untuk meningkatkan kepadatan rambut pada gajah, mungkin dengan mengedit gen pengatur kepadatan folikel rambut atau menggunakan teknologi sel punca untuk merekayasa kulit gajah agar mendukung pertumbuhan rambut lebih padat.
Proyek ini, meskipun menghadapi banyak tantangan, membuka kemungkinan besar untuk menghidupkan kembali woolly mammoth, dengan harapan dapat membawa kemajuan ilmiah yang luar biasa di bidang rekayasa genetik dan konservasi spesies yang punah.
Sumber: Liputan6