Dirut Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan Tersangka Korupsi Minyak Mentah

favicon
Gaji dan Tunjangan Dirut Pertamina Patra Niaga

Obrolan – Kejaksaan Agung tetapkan Riva Siahaan, Dirut Pertamina Patra Niaga, sebagai tersangka korupsi minyak mentah dan produk kilang, merugikan negara Rp 193,7 triliun.

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS), sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) antara tahun 2018 hingga 2023.

Penetapan tersangka ini mencuat setelah Kejagung menerima bukti yang mengindikasikan adanya pelanggaran hukum dalam pengadaan bahan bakar minyak, khususnya Pertalite dan Pertamax, oleh PT Pertamina Patra Niaga.

Menurut keterangan resmi dari Kejaksaan Agung, kasus ini bermula dari pembelian bahan bakar Pertalite yang kemudian diolah atau “diblending” untuk menjadi Pertamax.

Pada praktiknya, Pertalite yang dibeli PT Pertamina Patra Niaga ternyata dibayar dengan harga yang lebih tinggi, yakni harga Pertamax, meskipun bahan bakar yang dibeli hanya memiliki kualitas setara dengan Pertalite atau RON 90.

Praktik ini kemudian dilakukan dengan cara mencampurkan (blending) bahan bakar di fasilitas penyimpanan atau depot untuk meningkatkan kualitasnya menjadi RON 92, yang setara dengan Pertamax. Hal ini tentu saja melanggar peraturan yang ada, karena pengadaan bahan bakar seharusnya dilakukan sesuai dengan kualitas yang telah ditetapkan.

“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah, yang kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” ungkap Kejaksaan Agung dalam keterangannya yang dirilis pada Selasa, 25 Februari 2025.

Pihak Kejaksaan menegaskan bahwa praktik ini jelas melanggar hukum dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata kelola pengadaan bahan bakar.

Dalam proses penyidikan, Kejaksaan Agung juga menetapkan enam tersangka lainnya yang turut terlibat dalam praktik ilegal ini.

Para tersangka tersebut terdiri dari sejumlah pejabat penting di Pertamina serta pihak-pihak terkait dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang.

Mereka antara lain, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF); Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, SDS; serta VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, AP.

Selain itu, terdapat juga tersangka lainnya yaitu MKAR, yang merupakan pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa; DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; serta GRJ, yang menjabat sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Dalam kasus ini, Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan bersama dengan SDS dan AP diduga telah memenangkan DMUT (Distributor Minyak dan Unit Trading) atau broker minyak mentah dan produk kilang dengan cara yang melanggar hukum.

Sementara itu, DM dan GRJ diduga melakukan komunikasi dengan AP untuk memperoleh harga tinggi (spot) meskipun syarat-syarat belum terpenuhi, sekaligus mendapatkan persetujuan dari SDS untuk melakukan impor produk kilang.

Kasus ini semakin memanas ketika terungkap bahwa pada saat pengadaan minyak mentah dan produk kilang dilakukan, terjadi praktik mark up yang dilakukan oleh Yoki Firnandi sebagai Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.

Tindakan mark up ini mengakibatkan negara harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi, yakni sekitar 13 hingga 15 persen lebih mahal secara ilegal. Akibat dari transaksi yang melibatkan mark up ini, MKAR pun dilaporkan memperoleh keuntungan yang tidak sah.

Lebih lanjut, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa adanya pengadaan produk impor yang dilakukan secara melawan hukum ini telah menyebabkan lonjakan harga bahan bakar yang tinggi.

Harga dasar yang digunakan untuk menetapkan Harga Indeks Pasar (HIP) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal, yang kemudian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi atau subsidi BBM setiap tahun dari anggaran APBN.

Akibat dari serangkaian perbuatan melawan hukum ini, negara diperkirakan mengalami kerugian yang sangat besar, yakni sekitar Rp 193,7 triliun.

Dengan ditemukannya bukti-bukti yang kuat, Kejaksaan Agung berkomitmen untuk terus mendalami kasus ini dan menuntut pertanggungjawaban dari para tersangka yang terlibat dalam skandal besar ini.

Kejaksaan Agung juga mengingatkan agar semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam dan energi negara untuk menjalankan tugas mereka sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, demi menghindari kerugian negara yang lebih besar di masa depan.

Proses hukum akan terus berjalan dan para tersangka akan diproses secara adil dan transparan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Sumber: Kompas

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi. Bila ingin mengutip silahkan menggunakan link aktif mengarah pada domain Obrolan.id.