Obrolan.ID – Penahanan terhadap Inong Fitriani dalam kasus dugaan pemalsuan surat tanah di Kota Dumai menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat.
Muncul dugaan bahwa kasus ini berkaitan dengan praktik mafia tanah yang belakangan menjadi sorotan di berbagai daerah, khususnya di Kota Dumai.
Publik Dumai digemparkan oleh kabar bahwa Inong Fitriani (57), seorang ibu rumah tangga, kini mendekam di balik jeruji akibat konflik kepemilikan lahan dengan seorang pengusaha lokal bernama Toton Sumali.
Perselisihan tersebut menyangkut sebidang tanah seluas sekitar 1.200 meter persegi yang berada di Kelurahan Bintan, Kecamatan Dumai Kota.
Menurut pihak Kepolisian Resor Dumai, Inong dijadikan tersangka atas tuduhan memalsukan dokumen tanah yang diklaim telah dikuasai keluarganya sejak tahun 1961.
Sebaliknya, Toton mengaku sebagai pemilik sah berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terbit tahun 2000. Pertentangan ini memicu polemik luas dan mengundang simpati publik.
Nama Inong Fitriani viral di media sosial setelah penahanannya, yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan hak atas tanah warisan.
Dugaan keterlibatan mafia tanah di Dumai dalam konflik ini pun semakin menguat.
Dilansir dari updateinews.com, konflik agraria ini menampilkan sisi gelap dari penegakan hukum di daerah, terutama saat masyarakat kecil bersengketa dengan pemodal kuat.
Keluarga Inong telah menguasai tanah tersebut selama lebih dari enam dekade, dilengkapi dengan dokumen warisan dan bukti pembayaran pajak sebagai dasar klaim kepemilikan.
Namun pada tahun 2021, seorang pengusaha mendadak muncul dengan sertifikat hak milik yang menyatakan lahan tersebut adalah miliknya.
“Kami ini bukan orang baru di sini. Kami rawat tanah ini sejak lama. Tiba-tiba muncul surat baru. Siapa yang menjual? Kami tidak pernah tahu,” ujar Rahmad, anak Inong Fitriani.
Keluarga Inong kini berharap Kejaksaan Negeri Dumai dapat membuka kembali dan menelaah kasus ini secara menyeluruh. Mereka menolak tudingan pemalsuan dan mengklaim hanya ingin mempertahankan hak waris.
“Kami tidak membuat surat palsu. Kami membela hak kami. Kalau rakyat kecil tidak dilindungi hukum, lalu untuk siapa hukum itu ada?” kata Rahmad dengan nada kecewa.
Dr. Herman Siregar, SH, MH, pakar hukum agraria dari Universitas Riau, menyebut penetapan tersangka terhadap Inong sebagai langkah tergesa-gesa dan tidak sesuai prosedur hukum yang seharusnya.
Ia menegaskan bahwa sengketa ini adalah konflik perdata, bukan kasus pidana pemalsuan murni.
“Polisi seharusnya tidak terburu-buru menetapkan tersangka sebelum keabsahan kepemilikan diuji di pengadilan perdata. Ini rentan disalahgunakan dan memberi kesan keberpihakan,” ujar Dr. Herman.
Ia juga menekankan pentingnya independensi penegak hukum dan perlunya melibatkan ahli agraria dalam menggali riwayat tanah tersebut. “Jangan sampai hukum terlihat tajam ke bawah, tumpul ke atas,” tambahnya.
Sementara itu, pihak Polres Dumai menyatakan telah menuntaskan penyidikan secara profesional. AKP Kris Tofel, Kasat Reskrim Polres Dumai, menyebut bahwa berkas perkara telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Negeri Dumai pada 20 Maret 2025.
“Semua prosedur sudah dilalui, termasuk pemeriksaan 23 saksi, pengukuran lokasi bersama BPN, serta keterangan ahli pidana,” kata Kris.
Ia menambahkan bahwa perbedaan signifikan antara dokumen asli dan dokumen yang digunakan tersangka, khususnya dalam ukuran tanah menjadi bukti penting.
Dalam dokumen asli tertulis lebar tanah 9 depa, namun dalam versi lain disebutkan 59 depa.
Selain itu, Polres Dumai juga menemukan bahwa sebagian tanah tersebut pernah dijual pada tahun 2004 berdasarkan surat ganti rugi yang tercatat resmi di arsip Kelurahan Bintan.
Ukuran dalam arsip tersebut mencocoki dokumen resmi, bukan dokumen yang dibawa oleh Inong.
“Surat yang digunakan tersangka berbeda ukuran dan tidak tercatat di kelurahan. Kami menduga itu dipalsukan untuk mengklaim tanah dan menerima uang sewa dari kios yang berdiri di atasnya,” terang Kris.
Barang bukti berupa dokumen legalisasi, surat tanah, serta identitas para pihak telah disita. Pelimpahan tahap dua kepada Kejaksaan telah dilakukan pada 5 Mei 2025, dan sebelumnya tersangka ditahan pada 3 Mei 2025.
Kasus ini bermula dari laporan seorang warga berinisial TS, yang melaporkan dugaan pemalsuan surat ke Polres Dumai pada 24 Agustus 2021.
Laporan tersebut mencantumkan kerugian materi akibat klaim tanah yang dilakukan Inong Fitriani berdasarkan surat penyerahan tahun 1961 yang ukurannya diduga telah dimanipulasi.
Dalam proses panjang sejak 2021, pihak kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan secara bertahap.
Mulai dari wawancara saksi, verifikasi dokumen, penggeledahan yang sudah disetujui pengadilan, hingga gelar perkara yang mengarah pada penetapan Inong sebagai tersangka pada 18 November 2024.
Proses pemanggilan dan BAP (berita acara pemeriksaan) telah dilakukan beberapa kali sebelum berkas diserahkan ke kejaksaan. Selama tahap awal penyidikan, penahanan belum dilakukan hingga bukti dirasa cukup.
Kini, publik menanti putusan pengadilan atas perkara ini. Di tengah riuhnya perbincangan tentang mafia tanah, banyak pihak berharap proses hukum berjalan objektif dan memberi keadilan, terutama bagi warga kecil yang selama ini kerap menjadi korban dalam konflik agraria.